Minggu, 28 September 2014

POLITIK PEMBAHARUAN MASYARAKAT DAN REFORMASI PENDIDIKAN INDONESIA



REVISI MAKALAH
 POLITIK PEMBAHARUAN MASYARAKAT
DAN REFORMASI PENDIDIKAN INDONESIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Politik Perencanaan dan Kebijakan Pendidikan

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Ahmad Ridwan, M.Pd.I
Dr. Hj. Fadlilah, M.Pd

Logo-IAIN-Sulthan-Thaha-Saifuddin-Jambi.jpg
Disusun oleh :
MUTTAQIN ROSIDI
 NIM : P.p.212.1.1561

KONSENTRASI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
PASCASARJANA IAIN STS JAMBI
TAHUN 2014

KATA PENGANTAR

                Pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas hidayah, berkah, rahmat, dan karunianya akhirnya penyusunan makalah ini dapat diselesaikan, kemudian sholawat teriring salam kita kirimkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah memberikan suri tauladan dalam segala aspek kehidupan manusia sehingga menginspirasi bagi setiap langkah kebenaran ummatnya untuk mendapatkan syafa’atnya di hari akhir kelak.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Politik Perencanaan dan Kebijakan Pendidikan  . Penyusun sepenuhnya sangat menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan seperti yang diharapkan, maka dari itu sangat diharapkan kritik dan saran dari teman-teman seperjuangan di Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam terutama dosen pengampu, Ibu  Dr. Hj. Fadlilah, M,Pd. Dan Bapak Dr. Ahmad Ridwan, M.Pd.I.  demi perbaikan makalah ini ke arah yang lebih baik.  Akhirnya kepada Allah SWT kita memohon do’a dan berserah diri atas segala kekurangan, semoga makalah ini berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua.

                                                                                        Jambi,   Februari  2014
                                                                                                Penulis


Muttaqin Rosidi
Nim : P.p.212.1.1561

DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR .......................................................................................... i    
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. 6
A.  Peran serta Masyarakat dalam Meningkatkan  Pendidikan yang Berkualitas ....................................................................................... 6
B.  Pendidikan yang Berkualitas ........................................................... 7
C. Peningkatan Sumber Daya Bangsa dengan Pendidikan
Yang Berkualitas.............................................................................. 9
D. Urgensi Reformasi dalam Pendidikan ............................................. 23
BAB III KESIMPULAN ............................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 34
           

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah salah satu pilar kehidupan bangsa. Masa depan suatu bangsa bisa diketahui melalui sejauh mana komitmen masyarakat, bangsa ataupun Negara dalam menyelenggarakan Pendidikan Nasional. Oleh karena itu pendidikan menjadi faktor utama atau penentu bagi masa depan suatu bangsa. Pendidikan merupakan aspek kehidupan manusia yang sangat signifikan, sehingga diyakini sebagai modal utama sebuah bangsa dalam mempertahankan eksistensinya, bahkan pendidikan dijadikan sebagai barometer kualitas SDM. Pembukaan UUD 1945, secara historis sebagai Indonesian declaration of independence, dirumuskan sebuah konsep pencerdasan kehidupan bangsa. Konsep ini adalah yang paling langsung berhubungan dengan pembinaan masyarakat madani. Tatanan kehidupan masyarakat madani yang hendak diwujudkan pada hakekatnya merupakan proses berkesinambungan dari perjalanan sejarah yang panjang. Tonggak-tonggak sejarah pembangunan Pendidikan bermula dari era jauh sebelum kemerdekaan hingga saat ini, era Reformasi.
Desentralisasi merupakan kebijakan pemberian wewenang kepada daerah untuk melaksanakan dan mengurusi keperluan dirinya sendiri. Desentralisasi pendidikan di indonesia setelah otonomi daerah memberikan peluang untuk lebih cepat mengambil keputusan, meningkatkan partisipasi pelaksana pendidikan, dan mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya pendidikan untuk memberdayakan masyarakat.[1]

Pendidikan memang tidak dapat dilepas dari aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya, menganggap pendidikan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri tanpa ada kaitannya dengan aspek sosial yang melengkapinya akan berakibat kepada keterasingan pendidikan dan realitas nyata. Lebih-lebih di era global dimana dunia telah melipat yang dapat terjangkau kapan dan dimana saja kita ada: yaitu sebuah dunia tanpa batas dan waktu.
Krisis multidimensi yang yang terjadi di negeri ini, harus diakui telah menyebabkan berbagai macam persoalan sosial yang semakin meluas dan menjadi-jadi, kemiskinan, pengangguran, kriminalitas terus selalu meningkat persentasenya. Kebijakan ekonomi maupun politik pemerintah yang selama ini cenderung lebih mengutamakan kepentingan elit politik dan para pengusaha kelas atas adalah salah satu faktor utama yang menjadi penyebab kian parahnya  krisis multidimensi ini.
Akibat dari keadaan ini, golongan yang paling menderita tentunya adalah masyarakat yang berada pada lapisan sosial yang paling bawah. Kecilnya perhatian dan tindakan serius lembaga pemerintahan, baik legislatif, maupun eksekutif terhadap masyarakat kelas bawah ini, telah menyebabkan jumlah masyarakat miskin dan pengangguran semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada akhirnya, realitas seperti ini kian menyebabkan jurang pemisah antara mayoritas masyarakat kita yang miskin dengan segelintir orang yang kaya menjadi semakin melebar menyebabkan masyarakat semakin tidak berdaya. Disisi lain paradigma magis masyarakat kita masih lekat, ketidakberdayaannya untuk mengaitkan apa yang terjadi pada dirinya dengan faktor politik, ekonomi dan budaya menyebabkan pandangan bahwa yang terjadi terkait dengan kemiskinan, kebodohan adalah takdir yang memang harus diterima.
Pada Era Reformasi ini, masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupan. Tilaar, menyatakan masyarakat Indonesia kini dalam masa transformasi, era reformasi telah lahir dan masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupannya. Euforia demokrasi juga sedang marak dalam masyarakat Indonesia.  Disini sektor Pendidikan memiliki peran yang strategis dan fungsional dalam upaya membangun masyarakat madani di Indonesia. Pendidikan senantiasa berusaha untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dikalangan masyarakat sebagai konsekuensi perubahan.

B. Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian singkat di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini yaitu:
1.    Bagaimana peran serta masyarakat dalam meningkatkan  pendidikan yang berkualitas  ?
2.    Apa Pendidikan yang berkualitas ?
3.    Bagaimana peningkatan sumber daya bangsa dengan pendidikan yang berkualitas melalui reformasi pendidikan?
4.    Urgensi reformasi dalam dunia pendidikan / sekolah ?










BAB II
PEMBAHASAN

A.     Peran serta Masyarakat dalam Meningkatkan Pendidikan yang berkualitas
Peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan disekolah. Peran serta masyarakat tidak hanya berupa dukungan dana atau sumbangan fisik saja, tetapi bisa lebih dari itu. Peran serta masyarakat sudah dapat dianggap baik jika dapat terlibat langsung dalam bidang pengelolaan sekolah, apalagi dapat masuk kedalam bidang akademik.
Orang tua merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Sebagai pihak yang sangat berkepentingan dengan kemajuan belajar anaknya, orang tua sudah selayaknya dilibatkan secara aktif oleh sekolah untuk membantu peningkatan mutu pendidikan sekolah. Peran serta masyarakat tidak hanya berupa dana, tetapi juga pemikiran atau tenaga dalam pembelajaran, perencanaan pengembangan sekolah, dan pengelolaan kelas. Komitmen dan kerja sama sangat diperlukan dalam upaya realisasi peran serta ini, antara sekolah dan orang tua dan sekolah idealnya saling proaktif. Peran serta orang tua dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah dapat disesuaikan dengan latar belakang sosial ekonomi dan kemampuan orang tua.
Dengan demikian, dukungan masyarakat terhadap peningkatan mutu pendidikan sekolah melibatkan peran serta tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh agama, dunia usaha dan dunia industri, serta kelembagaan sosial budaya. Penyertaan mereka dalam pengelolaan sekolah hendaknya dilakukan secara integral, sinergis, dan efektif, dengan memperhatikan keterbukaan sekolah untuk menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat dalam meningkatkan mutu sekolah. Manajemen berbasi sekolah dapat berjalan dengan baik apabila komite sekolah diberdayakan secara optimal. Komite sekolah dibentuk sebagai mitra sekolah dalam mengembangkan diri menuju peningkatan kualitas pendidikan.  Dalam pelaksanaannya komite sekolah bekerja berdasarkan fungsi-fungsi manajemen.
Sebagai mitra sekolah, komite sekolah memiliki peran sebagai : (1) advisory agency (pemberi pertimbangan), (2) supporting agency (pendukung kegiatan layanan pendidikan), (3)  controlling agency (pengontrol kegiatan layanan pendidikan), dan (4) mediator atau penghubung tali komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah.[2]
Sejalan dengan upaya memberdayakan dan meningkatkan peran serta masyarakat, sekolah diharapkan dapat membina jalinan kerjasama dengan orang tua dan masyarakat. Sebagai bagian dari konsep Manajemen Berbasis Sekolah, pemberdayaan komite/dewan sekolah ini merupakan wujud manajemen partisipatif yang melibatkan peran serta masyarakat, sehingga semua kebijakan dan keputusan yang diambil adalah kebijakan dan keputusan bersama dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.

B.    Pendidikan yang Berkualitas melalui Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen sekolah dengan rancangan Manajemen Berbasis Sekolah dipandang berhasil jika mampu mengangkat derajat mutu proses dan produk pendidikan dan pembelajaran. Dalam pengertian umum, mutu mengandung makna derajat keunggulan suatu produk atau hasil kerja, baik berupa barang maupun jasa. Barang dan jasa pendidikan itu bermakna dapat dilihat dan tidak dapat dilihat, tetapi dapat dirasakan. Dalam konteks pendidikan, mutu mengacu pada masukan, proses, keluaran, dan dampaknya. Mutu masukan dapat dilihat dilihat dari beberapa sisi. Pertama, kondisi baik atau tidaknya masukan sumber daya manusia, seperti kepala sekolah, guru, laboran, staf tata usaha, dan siswa. Kedua, memenuhi atau tidaknya kriteria masukan material berupa alat peraga, buku-buku, kurikulum, prasarana, sarana sekolah dan lain-lain. Ketiga, memenuhi atau tidaknya kriteria masukan yang berupa perangkat lunak, seperti peraturan, struktur organisasi. Keempat, mutu masukan yang bersifat harapan dan kebutuhan, seperti visi, motivasi, ketekunan dan  cita-cita.[3]
Mutu pendidikan itu ternyata tidak semata-mata di ukur dari mutu keluaran pendidikan secara utuh (educational outcomes) akan tetapi dikaitkan dengan konteks di mana mutu itu ditempelkan dan berapa besar persyaratan tambahan yang diperlukan untuk itu. Pada era masyarakat industrial sekarang ini, tenaga kependidikan harus tampil dengan sosok pelayanan yang berkualitas.[4]
Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa : “Semua aktivitas Institusi Pendidikan Nasional bermuara pada pencapaian tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri sebagai warga Negara demokratis dan bertanggung jawab”.[5]
Merujuk kepada kebijakan pemerintah bahwa peserta didik wajib belajar 9 Tahun dengan tujuan untuk mencerdaskan bangsa. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “Negara berkewajiban melaksanakan penyelenggaraan pendidikan wajib belajar 9 tahun untuk setiap warga negara baik yang tinggal di dalam wilayah NKRI maupun di luar negeri”.
Di sana tampak bahwa pemerintahan sebetulnya sudah berupaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan berbagai pola dan kebijakan. Bahkan adanya perubahan dari sentralisasi ke desentarlisasi dengan tujuan untuk mempermudahkan dalam berbagi tanggung jawab. Kesemuanya itu dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, akan tetapi kebijakan tinggal pada kebijakan karena didorong oleh desakan kepentingan-kepentingan yang sebetulnya kepentingan di bawah kepentingan.
Dalam rangka mewujudkan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa, serta sejalan dengan visi dan misi pendidikan nasional,  Kemendiknas (Renstra Kemendiknas 2010-2014) mempunyai visi 2025 untuk menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif (Insan Kamil/Insan Paripurna). Insan indonesia cerda adalah insan yang cerdas komprehensif, yaitu cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis.[6]

C.    Peningkatan Sumber Daya Bangsa dengan Pendidikan yang Berkualitas
Untuk menjadi suatu Bangsa yang bermartabat salah satunya dengan jalan melalui pendidikan, pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang berkualitas. Untuk berkualitas tentunya banyak aspek yang harus diperhatikan terutama dalam bidang pendidikan, dalam hal ini ada 3 aspek yang harus diperhatikan secara serius antara lain : Mutu Kurikulum, Mutu Kesejahteraan dan Mutu Sarana Prasarana.
1.    Mutu Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat mata pelajaran yang dikembangkan. Karena sesungguhnya kurikulum adalah inti daripada pendidikan, sebagaimana dikemukakan oleh Muhaimin bahwa kurikulum merupakan “nafas atau inti” dari proses pendidikan di sekolah/madrasah untuk memberdayakan potensi peserta didik.[7]
Kurikulum sebagai bidang kajian sangat sulit dipahami, tetapi sangat terbuka untuk didiskusikan.oleh karena itu, untuk memahaminya harus dianalisis dalam konteks yang luas, demikian halnya dengan Kurikulum 2013. Kurikulum 2013  yang berbasis karakter dan kompetensi lahir sebagai jawaban terhadap berbagai kritikan terhadap kurikulum 2006, serta sesuai dengan perkembangan kebutuhan dunia kerja. Kurikulum 2013 merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan tekhnologi seperti yang digariskan dalam haluan negara.  Sedikitnya terdapat tujuh asumsi yang mendasari Kurikulum 2013 yang berbasis karakter dan kompetensi, ketujuh asumsi tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, banyak sekolah yang memiliki sedikit guru professional dan tidak mampu melakukan proses pembelajaran secara optimal. Oleh karena itu, penerapan kurikulum berbasis kompetensi menuntut peningkatan kemampuan professional guru. Kedua, banyak sekolah yang hanya mengoleksi sejumlah mata pelajaran dan pengalaman, sehingga mengajar diartikan sebagai kegiatan menyajikan materi yang terdapat dalam setiap mata pelajaran. Ketiga, peserta didik bukanlah tabung kosong atau kertas putih bersih yang dapat diisi atau ditulis sekehendak guru, melainkan individu yang memiliki sejumlah potensi yang perlu dikembangkan. Keempat, Peserta didik memiliki potensi yang berbeda dan bervariasi, dalam hal tertentu memiliki potensi tinggi, tetapi dalam hal lain mungkin biasa saja, bahkan rendah. Kelima, pendidikan berfungsi mengkondisikan lingkungan untuk membantu peserta didik mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya secara optimal. Keenam, kurikulum sebagai rencana pembelajaran harus berisi kompetensi-kompetensi potensial yang tersusun secara sistematis, sebagai jabaran dari seluruh aspek kepribadian peserta didik, yang mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan dalam kehidupan. Ketujuh, kurikulum sebagai proses pembelajaran harus menyediakan berbagai kemungkinan kepada seluruh peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi secara optimal. Dalam hal ini tugas guru adalah memberikan kemudahan dan kesempatan belajar kepada peserta didik untuk menemukan ide dan menerapkan strategi belajar dengan kemampuan dan kecepatan belajar masing-masing.[8]
Kriteria sekolah bermutu menurut Arcaro[9] adalah sekolah yang tidak terlepas dari pilar-pilar mutu seperti : fokus pada kostumer, keterlibatan total, pengukuran, komitmen, dan perbaikan keberlanjutan. Kesemuanya itu adalah sangat menunjang untuk peningkatan sumber daya manusia serta berimbas kepada sumber daya bangsa.
Sedangkan menurut Alexander yang dikutif oleh Asep Herry dalam Maisah[10] ada enam fungsi kurikulum yaitu :
1.  Penyesuaian (the adjustive or adaptive function)
Fungsi penyesuaian ini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mengarahkan siswa agar memiliki sifat wel adjusted, yaitu mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun dengan lingkungan sosial. Lingkungan itu sendiri senantiasa mengalami perubahan dan bersifat dinamis. Oleh karena itu, siswa pun harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dilingkungannya.
2.  Integrasi (the integrating function)
Fungsi intergrasi ini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh. Siswa pada dasarnya merupakan anggota dan bagian integral dari masyarakat.oleh karena itu, siswa harus memiliki kepribadian yang dibutuhkan untuk dapat hidup dan berintegrasi dengan masyarakatnya.
3.  Diferensi (the defferntiating function)
Fungsi diferensi ini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan pelayanan terhadap perbedaan-perbedaan individu siswa. Setiap siswa memiliki perbedaan, baik dari aspek fisik maupun psikis, yang harus dihargai maupun dilayani dengan baik.
4.  Persiapan (the propaedeutic function)
Fungsi persiapan ini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mempersiapkan siswa untuk melanjutkan studi ke jenjang berikutnya. Selain itu, kurikulum juga diharapkan dapat mempersiapkan siswa untuk dapat hidup dalam masyarakat seandainya ia karena sesuatu hal, tidak melanjutkan pendidikannya.
5.  Pemilihan (the selective function)
Fungsi pemilihan ini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih program-program belajar yang sesuai dengan kemapuan dan minatnya. Fungsi pemilihan ini sangat erat hubungannya dengan fungsi deferensiasi karena pengakuan atas adanya perbedaan individual siswa.
6.  Diagnostik (the diagnostic function)
Fungsi diagnostik ini mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu membantu dan mengarahkan siswa untuk dapat memahami kekuatan dan dan menerima kekuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya, sehingga diharapkan siswa dapat mengembangkan sendiri potensi/kekuatan yang dimilikinya atau memperbaiki kelemahan-kelemahannya.
Kalau boleh penulis katakan bahwa sesungguhnya peningkatan sumber daya bangsa dengan pendidikan yang berkualiatas adalah diumpamakan seperti siklus rantai makanan, yang saling membutuhkan dan memanfaatkan. Begitu juga dengan peningkatan sumber daya bangsa dengan pendidikan, bagaimana mungkin meningkatnya sumber daya bangsa sementara pendidikannya  (tidak berkualitas), di sinilah sebetulnya peran sebagai pemegang kekuasaan.

2.    Mutu Kesejahteraan
Menurut Mc. Keena dan Beech dalam Teguh mengatakan bahwa penghargaan diberikan untuk menarik dan mempertahankan SDM karena diperlukan untuk mencapai saran-saran organisasi. Staf (guru) akan termotivasi jika diberikan penghargaan ekstrinsik (gaji, tunjangan, bonus dan komisi) maupun penghargaan instrinsik (pujian, tantangan, pengakuan, tanggung jawab, kesempatan dan pengembangan karir).[11]
Kompensasi kerja adalah persepsi guru terhadap berbagai bentuk upah atau imbalan yang diperoleh dari hasil kerja yang digambarkan melalui dua komponen yaitu: Kompensasi langsung yang meliputi gaji, tunjangan fungsional, tunjangan hari raya, bonus pengabdian, bonus prestasi, uang transportasi makan, uang duka dan biaya pemakaman. Kompensasi tidak langsung meliputi bantuan biaya pengobatan rawat jalan dan rawat inap, dana pensiun, perumahan, beasiswa, penghargaan, formasi jabatan, dan rekreasi.
Kesejahteraan guru merupakan salah satu faktor untuk meningkatkan motivasi kerja ,  guru yang mempunyai motivasi yang tinggi akan bersemangat dan bergairah dalam melaksanakan  pekerjaannya , tanpa  motivasi guru akan merasa malas , jenuh dan bosan yang akhirnya produktifitas kerja akan menurun dalam arti pekerjaan tidak dapat berjalan dengan lancar sehingga tidak tercapainya tujuan dan hasil yang optimal. Untuk itu perlu meningkatkan motivasi kerja agar guru bersemangat dalam melaksanakan pekerjaannya .Gaji atau imbalan sebagai salah satu motivasi seseorang untuk bekerja  selain gaji  merupakan hak bagi pegawai setelah melaksanakan pekerjaannya. Kelancaran dan ketepatan dalam pembayaran gaji dapat mempertahankan dan meningkatkan motivasi kerja , namun sebaliknya keterlambatan pembayaran gaji dapat menurunkan motivasi kerja sehingga pegawai malas untuk bekerja apalagi pegawai yang gajinya minus akibat kebutuhan yang tidak terkendali dan banyaknya utang ke pihak lain.
Kepuasan kerja guru merupakan hal yang sangat perlu diperhatikan dalam setiap sekolah, karena tercapainya tujuan sekolah sangat ditentukan oleh unsur manusia dalam sekolah tersebut. Kepuasan kerja berhubungan dengan psikologis seseorang terhadap pekerjaan yang sedang ia lakukan. Manusia bekerja mancari kepuasan hidup melaui berbagai aktivitas dalam bekerja maupun diluar kerja, sehingga kepuasan kerja guru itu sendiri mempengaruhi mutu pelaksanaan tugasnya dan akhirnya mempengaruhi tingkat pencapaian tujuan sekolah yang dimaksud.
Menurut Robins dalam Martinis dan Maisah [12] bahwa ada beberapa faktor penting yang mendorong kepuasan kerja yaitu :
1.    Kerja yang secara mental menantang. Hal ini dapat diartikan bahwa pekerjaan yang diberikan pada guru haruslah memiliki tantangan professional. Pekerjaan yang dirasa tidak menantang akan menimbulkan rasa bosan, sebaliknya pekerjaaan yang tantangannya terlalu berat akan menimbulkan frustasi dan gagal.
2.    Ganjaran/imbalan yang pantas, yang dimaksud imbalan disini bisa berupa gaji, komisi, tunjangan ataupun kesempatan promosi. Pada umumnya guru menginginkan sistem gaji dan promosi yang adil artinya ada kesesuaian antara imbalan yang diberikan dengan tuntutan pekerjaan, keterampilan, latar belakang pendidikan dan lain-lain.
3.    Kondisi kerja yang mendukung yaitu suasana lingkungan ditempat guru bekerja seperti keberhasilan, penerangan, temperatur udara dan lain-lainnya
4.    Rekan kerja yang mendukung yaitu rekan kerja yang ramah serta kooperatif pada umumnya akan meningkatkan kepuasan kerja karena umumnya seseorang yang bekerja tidak hanya untuk mendapatkan penghasilan gaji, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan interaksi sosial.
Selain itu guru adalah termasuk kepada rakyat berdaya, menurut H.A.R Tilaar rakyat berdaya adalah rakyat yang menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sesuai untuk mengelola sumber daya alam yang ada di sekitarnya.[13] Sebelum adanya anggaran pendidikan 20 % guru kurang sejahtera, terlihat ketika mengajar sambil mencari tambahan di luar dengan memberi jasa ojek kepada orang lain. Akar permasalahannya adalah kurangnya kecukupan materi untuk menghidupi keluarga. Sekarang kebalikannya orang-orang berlomba-lomba untuk menjadi tenaga pendidik karena asumsi berpendapat menjadi guru bisa sejahtera melalui program sertifikasi. Sebetulnya semua itu tujuannya adalah untuk membenahi nageri ini untuk menjadi berkualitas dan bermartabat.

3.    Mutu Saran dan Prasarana
Selain di bidang kurikulum porsi sarana dan prasana juga sangat strategis terhadap peningkatan sumber daya bangsa dengan pendidikan yang berkualitas, karena sesungguhnya sarana dan prasarana juga menempatkan posisi yang amat penting dalam bidang pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 45 ayat 1 yang berbunyi : “setiap satuan pendidikan menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.[14] Kemudian diamanatkan pula dalam Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM), sekolah harus memiliki persyaratan minimal untuk menyelenggarakan pendidikan dengan serba lengkap dan cukup seperti, luas lahan, perabot lengkap, peralatan/laboratorium/media, infrastruktur, sarana olahraga, dan buku-buku.[15] Dalam memenuhi kebutuhan tersebut pemerintah harus memainkan perannya dengan memperhatikan kemerataan di bidang pendidikan.
Pada dasarnya manajemen sarana dan prasarana pendidikan terdiri dua unsur, yaitu sarana dan prasarana, menurut Mulyasa [16] sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan, khususnya proses belajar mengajar, seperti gedung, ruang kelas, meja, kursi, serta alat-alat dan media pengajaran. Adapun yang dimaksud dengan prasaranana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pengajaran, seperti halaman, kebun, taman sekolah, jalan menuju sekolah, tetapi jika dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar mengajar, seperti taman sekolah untuk pengajaran mata pelajaran biologi dengan memanfaatkan tumbuhan yang ada, komponen tersebut bisa disebut sebagai sarana pendidikan.
Manajemen sarana dan prasarana merupakan suatu kegiatan untuk mengatur dan mengelola sarana dan prasarana pendidikan secara efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Baharudin [17] manajemen saran dan prasarana meliputi lima hal, yaitu : (a) penentuan kebutuhan, (b) proses pengadaan, (c) pemakaian, (d) pencatatan dan pengurusan, dan (e) pertanggung jawaban.
Manajemen sarana dan prasarana pendidikan bertugas mengatur serta menjaga sarana dan prasarana pendidikan agar dapat memberikan kontribusi pada proses pendidikan secara optimal dan berarti. Kegiatan pengelolaan ini meliputi kegiatan perencanaan, pengadaan, pengawasan, penyimpanan, inventarisasi, penghapusan serta penataan.
Adapun tujuan sarana dan prasarana pendidikan, yaitu :
1.    Untuk mengupayakan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan melalui sistem perencanaan dan pengadaan sacara hati-hati dan saksama, sehingga sekolah atau madrasah memiliki sarana dan prasarana yang baik sesuai dengan kebutuhan dana yang efisien.
2.    Untuk mengupayakan pemakian sarana dan prasarana sekolah itu harus tepat dan efisien.
3.    Untuk mengupayakan pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan secara teliti dan tepat, sehingga keberadaan sarana dan prasarana tersebut akan selalu dalam keadaan seiap pakai ketika akan digunakan atau diperlukan. [18]
Menurut Ace Suryadi[19]untuk mengatasi masalah mutu pendidikan diperlukan berbagai upaya. Pada dasarnya, terdapat tiga isu pokok yang harus dipersiapkan, yaitu kelengkapan infrastrukturnya, sumber daya manusianya, dan akuntabilitasnya.
1.    Infrastruktur Pendidikan Yang Merata
Penyebarluasan sarana-prasarana pendidikan ke seluruh wilayah nusantara sudah dilakukan secara cermat dan terpusat. Namun, ekses kesenjangan masih tetap ada antar kelompok masyarakat yang berbeda dalam hal letak geografis (desa-kota), wilayah (provinsi, kabupaten, dan sebagainya), status sosial-ekonomi, dan jenis kelamin (gender). Kesenjangan ini tampaknya tidak hanya disebabkan oleh kebijakan pemerintah karena program pemerataaan dan keadalian mendapat perhatian pemerintah yang cukup besar. Mungkin merupakakn akses dari kerumitan wilayah, pertumbuhan demografis, dan keanekaragaman masyarakat yang oleh kondisinya, tidak memungkinkan penyebaran fasilitas dan sumber-sumber pendidikan tersebut dilakukan secara terpusat.
Keberhasilan dalam pengelolaan yang tidak terpusat telah diperoleh dalam penyebarluasan gedung sekolah dasar karena Impers pada dasarnya menyalurkan bantuan untuk pemerintah Dati II; pelaksanaan program-programnya dilaksanakan di tingkat Dati: II tersebut secara otonomi. Mungkinkah pendekatan ini juga diterapkan dalam penyebarlausan sarana-prasarana pendidikan pada jenjang pendidikan lain? Dalam waktu yang relatif  singkat tentu saja tidak, tetapi bagaimana jika kita berpikir dalam dimensi waktu 25 tahun yang akan datang? Sarana dan prasarana pendidikan yang dimaksud ialah: buku paket, alat peraga, buku bacaan, bangunan serta kelengkapannya, dan sebagainya.

2.    Sumber Daya Manusia
Kemampuan guru, kepala sekolah, pemilik/pengawas, para pengelola pendidikan, dan  tenaga kependidikan lainnya ialah kekuatan sumber daya pendidikan harus mampu melaksanankan tugas-tugasnya baik di pusat maupun di daerah, jika mutu pendidikan ingin ditingkatkan. Kemampuan ini akan berkembang hanya jika memiliki status, pengakuan serta penghargaan professional.
Pembinaan profesianalisme tenaga pendidikan memerlukan waktu yang sangat lama dan biaya yang mahal. Status profesionalisme tidak diberikan oleh siapapun, tetapi harus dicapai oleh kelompok profesi yang bersangkuatan. Pada mulanya tentu saja harus dibina melalui penguatan landasan profesi tenaga kependidikan yang memadai, misalnya pendidikan tenaga kependidikan yang sesuai, pengembangan infrastruktur pelatihan dalam jabatan (in-servicetraining) yang memadai, system perencanaan yang efisien, serta administrasi kepegawaian, dan pembinaan pegawai yang memungkinkan tenaga kependidiakan berkembang dan tidak usang. Untuk menandai seorang profesional, pemerintah pusat tidak pelu mendidikanya secara langsung (misalnya penataran), tetapi kembangkan landasan profesi tersebut agar selanjutnya dapat memberikan peluang pada mereka untuk belajar sendiri damn mengejar status profesional mereka.
Namun, karena penguatan landasan profesi tersebut merupakan upaya yang mahabesar, maka salah satu cara yang paling efisien ialah menjadikan persoalan tersebut sebagai tanggung jaawab daerah. Sehubung dengan komitmen pemerintahan dalam penguatan desentralisasi Dati II, maka pembangunan landasan profesi tenaga kependidikan  pun bisa dilakukan secara otonom pada Dati II pula. Persoalannya sekarang, kita perlu meningkatkan kemampuan aparat Dati II untuk mengelola, menyelenggarakan, dan  bahkan mengambil keputusan daerahnya sendiri di bidang pendidikan.
Kita memerlukan waktu tidak kurang dari sepuluh tahun untuk membina aparat Dati II tesebut, dengan penghargaan bahwa aparat Dati II dapat menyelenggarakan, mengelola, clan melakukan control terhadap paling tidak pelaksanaan pendidikan dasar (SD dan SMP) sebagai tangan-tangan pemerintah pusat yang tangguh. Peranan sektor (pemerintah pusat) diperkirakan akan terus berkembang, khususnya dalam memberikan bantuan bimbingan teknis, isi kurikulum pokok, isi buku pokok, standarisasi mutu, keamanaan, dan kegiatan pengembangan sehubung dengan perkembangan metode, teknik clan pendekatan mutkhir dalam pendidikan.
3.    Akuntablitas
Seorang dokter dengan status profesionalnya, secara bebas dapat memutuskan pemakaian obat dan cara penyembuhan penyakit seorang pasien. Dengan kebebasaan ini, mereka menjadi seseorang yang cerdas  dan bertangggung jawab. Namun, ia selalu merasa takut jika upaya penyembuhan pasien tidak berhasil karena akan dituntut denda oleh pembayaran. Oleh karena itu, ia akan selalu berusaha untuk terus belajar agar memperoleh kemampuan yang paling tinggi. Dari ilustrasi ini, dapat dilihat bahwa akuntabilitas seorang dokter ada pada pasien yang membayarnya.
Tidak bisakah seorang profesional seperti dokter diterapkan pada guru dan pengelola pendidikan? Jawaban terhadap pertanyaan ini akan bervariasi. Tidak bisa, karena rentang akuntabilitas antara dokter dan pasien sangat dekat sedangkan dalam pendidikan, terlalu jauh antara pemerintah pusat dengan sekolah-sekolah. Agar biasa dilakukan, maka rentang ini diperpendek; pemerintah pusat perlu mewakilkan kepada pemerintah Dati II sebagai fungsi akuntabilitas. Suatu  Komisi pendidikan bisa dibentuk pada Dati II yang mewakili unsur pemerintah, dunia profesi, dan masyarakat sebagai pembayaraan biaya pendidikan. Mereka perlu melakukan tuntutan kepada sekolah-sekolah, jika lulusannya tidak bermutusehingga guru, kepala sekolah, dan aparat akan berusaha keras untuk memperbaiki kemampuannya menghasilkan lulusan yang bermutu.
Hasil pendidikan di Indonesia belum memenuhi standar mutu pendidikan yang ditetapkan undang – undang no.20 tahun 2003 dan masih jauh dari standar pendidikan Internasional. Ditemukannya beberapa masalah diantaranya literasi membaca, mendengar, menulis, berhitung, kemampuan berkompetisi rendah. Masalah -masalah itu mengakibatkan jeleknya kualitas lulusan-lulusan sekolah di Indonesia. Beberapa alternatif solusi yang bisa dilakukan: dengan perbaikan kurikulum, perbaikan profesi guru, cara mengajar, perbaikan kegiatan di sekolah, dan pendidikan mental. Disisi lain negara harus mempersiapkan tiga hal kelengkapan pendidikan yaitu: infrastrukturnya, Sumber Daya Manusia, dan akuntabilitas. Dengan berkomitmen pada solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan Indonesia dimasa yang akan datang bisa lebih baik.

Sebetulnya kalau dilihat dari amat UU RI bahwa pemerintah harus menyiapkan dan bertanggung jawab dalam kebutuhan pendidikan. Dari pada itu maka keterpaduan antara pemerintah yang memegang kebijakan dan para penyelenggara pendidikan dan atau praktisi pendidikan dijalankan atas dasar butir-butir Undang-Undang RI maka tidak akan menimbulkan kesenjangan-kesenjangan dalam bidang pendidikan. sudah barang tentu sumber daya bangsa dan manusia akan terangkat martabatnya dengan pendidikan yang berkualitas. Maka terjawablah sesungguhnya apa yang diharapkan oleh publik pengguna dan konsumen pendidikan.

D.    Urgensi Reformasi dalam Dunia Pendidikan
Tuntutan sekolah dewasa ini memperlihatkan adanya upaya untuk melakukan pembaharuan sekolah secara global di berbagai aspek. Adapun aspek pembaharuan sekolah sebagai berikut: Manajemen lembaga, SDM, Budaya sekolah, Pembiayaan  (kesejahteraan), Sumber belajar, Sarana prasarana, pengelolaan Input, pross, output, outcom, QA (Quality assurance).[20]
Perkembangan pendidikan akan seiring sejalan dengan dinamika masyarakatnya, karena ciri masyarakat selalu berkembang. Ada kelompok masyarakat yang berkembang sangat cepat, tetapi ada pula yang lambat. Hal ini karena pengaruh dari perkembangan tekhnologi, komunikasi, dan telekomunikasi. Dalam kondisi seperti ini perubahan-perubahan dimasyarakat terjadi pada semua aspek kehidupan. Efek perubahan di masyarakat akan berimbas pada setiap individu warga masyarakat, pengetahuan, kecakapan, sikap, kebiasaaan bahkan pola-pola kehidupan.
Dalam konteks global, khususnya dalam pengembangan kurikulum secara nasional, antar negara, kurikulum nasional yang akan dianut sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain falsafah yang dianut, kondisi sosial ekonomi, tingkat pendidikan, budaya dan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
pembaharuan sekolah merupakan upaya yang dilakukan untuk memberikan berbagai pencerahan, dukungan, pengembangan, inovasi dan pemberdayaan, menuju pembaharuan sekolah, baik secara internal maupun secara eksternal. Tuntutan pendidikan dewasa ini memperlihatkan adanya upaya untuk melakukan perubahan sekolah secara global dari berbagai aspeknya baik dalam kualitas, perencanaan, ataupun manajemennya. Pada aspek manajemen misalnya diupayakan adanya perubahan bagi guru yang mengarah pada profesionalitas. Perubahan ini jelas tidak akan tercapai jika, tidak diiringi dengan perubahan iklim dan budaya sekolah.
Manajemen sekolah adalah upaya mempedulikan untuk mengaplikasikan pada tujuan sekolah atau sasaran sekolah. Manajemen sekolah sebagai kegiatan dengan atau mengarahkan pada individu atau kelompok sekolah untuk mencapai tujuan organisasi sekolah. Setiap organisasi sekolah memilik aktivitas-aktivitas pekerjaan tertentu dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Salah satu aktivitas tersebut adalah manajemen. Dalam dunia pendidikan persekolahan, hanya terdapat satu manajemen yang bertigkat yaitu manajemen tinggi sampai dengan manajemen terdepan.
Menurut Teese [21] efektifitas sekolah adalah usaha membuat pengalaman pendidikan lebih demokratis dan adil, efektifitas, tidak memperhitungkan kompleksitas dunia personal, sosial budaya dimana guru dan peserta didik bergerak, atau proses berfikir dan menginformasikan. Untuk melakukan pembaharuan atau reformasi dalam dunia pendidikan, maka prasyarat yang harus terlebih dahulu dibentuk adalah adanya perubahan iklim dan budaya yang menunjang upaya perubahan, tanpa perubahan iklim dan budaya yang menunjang bagi perubahan, maka upaya perubahan yang seharusnya digagas dan dilakukan oleh pihak sekolah dengan bekerja sama.
Budaya sekolah, menurut Christopher R. Wagner[22] bukanlah sebuah deskripsi demografis yang berhubungan dengan ras, socio-economic, atau faktor-faktor geografi. Namun tentang bagaimana orang-orang memperlakukan orang lain, bagaimana mereka menilai orang lain dan bagaimana mereka bekerja dan bersama-sama baik dalam perasaan profesional maupun personal Reformasi sekolah memiliki pembahasan yang luas, tidak terbatas masalah manajemen saja, sekolah diharapkan mampu menciptakan iklim kondusif bagi perkembangan peserta didik, tidak menjadi lembaga mekanik, birokratik dan kaku, tetapi menjadi sebuah lembaga sosial yang organik, demokratis dan inovatif.
Sebenarnya inovasi di sekolah dengan mudah diterapkan jika para kepala sekolah, guru, siswa, dan warga sekolah lainya mau untuk melakukan inovasi yang diharapkan. Merubah sekolah sebenarnya merubah orang yang berada di sekolah. Berikut ini  akan diuraikan tentang bagaimana guru dan kepala sekolah yang akan mengadakan pembaharuan atau menerapkan inovasi  yaitu :
1.  Tujuan diadakannya inovasi perlu dimengerti dan diterima oleh guru, siswa, serta orang tua dan juga masyarakat. Harus dikemukakan dengan jelas mengapa perlu ada inovasi. Demikian pula tujuan inovasi hendaknya dapat dirumuskan dengan jelas baik pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Jika semua tujuan dapat ditunjukkan dengan jelas, maka guru, siswa, dan orang tua siswa akan mudah memahami apa yang diharapkan oleh inovator. Usaha untuk memperjelas informasi inovasi ini perlu mendayagunakan segala fasilitas yang ada.
2.  Motivasi positif harus digunakan untuk memberikan rangsangan agar mau menerima inovasi. Motivasi dengan ancaman, dengan mengajak agar orang mau mengikuti yang dilakukan orang lain, atau dengan menasehati agar orang menghindari kegagalan, belum tentu dapat berhasil. Kepandaian untuk menganalisa tujuan serta potensi hasil inovasi sangat diperlukan untuk memberikan motivasi yang tepat. Apakah tujuan memang merupakan hal yang sangat perlu atau merupakan hal yang pantas untuk dicapai. Orang yang akan memberikan motivasi kepada orang lain harus memperhatikan adanya perbedaan individual. Usaha penerapan inovasi harus dapat diterima oleh guru, dan siswa sebagai anggota masyarakat sekolah.
3.  Harus diusahakan agar individu ikut berpartisipasi dalam mengambil keputusan inovasi. Guru, siswa, maupun orang tua siswa, diberi kesempatan ikut berperan dalam mengambil keputusan menerima atau menolak inovasi. Mereka diberikan kesempatan memikirkan, mendiskusikan, dan mempertimbangkan perlunya inovasi.  Untuk keperluan itu perlu dipersiapkan berbagai alternatif bagaimana memecahkan masalah atau memenuhi kebutuhan yang diperlukan.  Usahakan pemberian informasi yang sejelas-jelasnya tentang inovasi ( apa, mengapa, dan bagaimana ), dengan menggunakan berbagai macam fasilitas dan media yang ada. Demikian pula perlu dikumpulkan data tentang kondisi dan situasi sekolah yang berkaitan dengan inovasi, kemudian data dianalisa untuk  menentukan cara atau prosedur yang tepat dalam penerapan inovasi.
4.  Perlu direncanakan tentang evaluasi keberhasilan program inovasi. Kejelasan tujuan dan cara menilai keberhasilan penerapan inovasi, merupakan motivasi yang kuat untuk menyempurnakan pelaksanaan inovasi.[23]

     Disamping keempat hal tersebut, perlu diperhatikan juga tentang urutan langkah pelaksanaan program hendaknya dibuat dengan fleksibel. Artinya jadwal kegiatan disusun dan disesuaikan dengan mengingat perbedaan individual baik dalam kemampuan, kesempatan, dan kesibukan. Mereka diharapkan dapat menyadari bahwa dalam melaksanakan kegiatan tidak harus dalam jumlah waktu yang sama dengan jenis kegiatan yang sama.  Yang sangat penting dibuat adalah kejelasaan pembagian tugas harus jelas terjadwal. Siapa harus mengerjakan apa dan kapan serta dimana.
Proses demokratisasi juga memasuki dunia pendidikan nasional antara lain dengan lahirnya Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang ini telah menangkap perubahan-perubahan yang dikehendaki dalam masyarakat Indonesia dewasa ini yaitu :
1)  Desentralisasi sistem pendidikan dari sistem yang sentralistik menjadi suatu sistem Desentralistik. Pendidikan bukan lagi merupakan tanggung jawab pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada tanggung jawab daerah. Sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang 2004 tentang Pemerintah Daerah, hanya beberapa fungsi saja yang tetap berada ditangan pemerintah pusat.  Banyak hal yang masih harus diatur seperti yang diminta oleh undang-undang No.20 Tahun 2003. Banyak PP yang mengatur mengenai wewenang daerah belum dilahirkan. Demikian pula hal yang sangat serius adalah komitmen dan kemampuan daerah untuk menyelenggarkan pendidikan bagi rakyatnya. 
2)  Sesuai dengan tuntutan globalisasi indonesia tidak terlepas dari kewajibanya untuk meningkatkan mutu sumber daya manusianya dalam menghadapi persaingan bebas dalam dunia yang terbuka abad ke 21.[24]
Dalam manajemen pendidikan dikenal dua mekanisme pengaturan, yaitu sistem sentralisasi dan desentralisasi. Dalam sistem sentralisasi, segala sesuatu yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan diatur secara ketat oleh pemerintah pusat. Sementara dalam sistem desentralisasi, wewenang pengaturan tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah. Kedua sistem tersebut dalam prakteknya tidak berlaku secara ekstrem, tetapi dalam bentuk kontinum; dengan pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (lokal).
Hal ini juga berlaku dalam manajemen pendidikan di Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan UUSPN 1989 bahwa pendidikan nasional diatur secara terpusat (sentralisasi), namun penyelenggaraan satuan dan kegiatan pendidikan dilaksanakan secara tidak terpusat (desentralisasi). Hal tersebut cukup beralasan karena masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dan mengurangi segi-segi negatif, pengelolaan pendidikan tersebut memadukan sistem sentralisasi dan desentralisasi.

a.    Sentralisasi Pendidikan
Sistem pendidikan nasional Indonesia dimaksudkan untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan, serta efisiensi manajemen pendidikan dalam menghadapi tuntutan globalisasi. Era globalisasi yang sedang terjadi saat ini dihadapkan pada tantangan yang lebih kompleks dan persaingan sumber daya manusia yang semakin ketat, sehingga dibutuhkan sumber daya manusia yang unggul dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu upaya pemerintah untuk dapat menghasilkan sumber daya manusia yang unggul tersebut adalah melalui pendidikan.
Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil manajer atau yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah Kelemahan dari sistem sentralisasi adalah di mana seluruh keputusan dan kebijakan di daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat, sehingga waktu yang diperlukan untuk memutuskan sesuatu menjadi lama. Kelebihan sistem ini adalah di mana pemerintah pusat tidak harus pusing-pusing pada permasalahan yang timbul akibat perbedaan pengambilan keputusan, karena seluluh keputusan dan kebijakan dikoordinir seluruhnya oleh pemerintah pusat.

b.    Desentralisasi Pendidikan
Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan yang menjadikan sekolah sebagai proses pengambilan keputusan dan merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik secara regional maupun secara internasional.  Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air kita. Hal ini beralasan, karena sistem birokrasi selalu menempatkan “kekuasaan” sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan. Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan semakin buruk dalam era reformasi saat ini.  Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang “dikendalikan”. Merekalah seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang menghadang  upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk juklak dan juknis yang “pasti” tidak sesuai dengan kenyataan obyektif di masing-masing sekolah.
Semua itu kalau tidak dikelola secara baik, maka ia akan menjadi penghambat jalannya roda organisasi atau lembaga pendidikan. Tapi kalau dikelola secara baik, maka akan menjadi pemicu untuk keberhasilan kegiatan manajerial itu. manajemen mengacu kepada proses pelaksanaan aktivitas yang diselesaikan secara efesien dengan dan melalui pendayagunaan orang lain.
Menurut Burnett e.al seperti dikutip M. Sirozi [25]  Desentralisasi pendidikan adalah otonomi untuk menggunakan input pembelajaran sesuai dengan tuntunan sekolah dan komunitas yang dapat  dipertanggungjawabkan kepada orang tua dan komunitas.  Sementara Abdul Halim [26]  mengartikan terjadinya pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi permasakahan-permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan. Desentralisasi pendidikan juga merupakan sebuah sistem manajemen dalam rangka untuk mewujudkan pembangunan pendidikan  yang menekankan pada kebinekaan.

Selain itu menurut Sufyarman [27] desentralisasi pendidikan adalah sistem menajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada kebhinekaan. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan yang dilatarbelakangi bahwa setiap daerah mempunyai sejarah sendiri, kondisi dan potensinya sendiri yang berbeda dengan tentang keadaan dirinya, permasalahannya dan aspirasinya. Daerah berfungsi untuk menyusun rencana, memutuskan kebijakan, mengambil keputusan dan menentukan langkah-langkah pelaksanaan pendidikan daerah.

Desentralisasi pendidikan juga diartikan sebagai pelimpahan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan pengambilan keputusan sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya di bidang pendidikan, dengan tetap mengacu pada kepada tujuan pendidikan nasional sebagai bagian dari upaya pencapaian tujuan pembangunan nasional. Dalam pengertian ini, desentralisasi pendidikan akan mendorong tercapainya kemandirian dan rasa percaya diri pemerintah daerah yang pada gilirannya mereka akan berlomba meningkatkan pelayanan pendidikan bagi masyarakat di daerahnya sendiri. Sehingga desentralisai pendidikan merupakan sistim menajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan kepada kebinekaan.
Pada dasarnya tujuan dan orientasi dari desentralisasi pendidikan sangat bervariasi berdasarkan pengalaman desentralisasi pendidikan yang dilakukan di beberapa negara Amerika Latin, Amerika Serikat, dan Eropa. Jika yang menjadi tujuan adalah pemberian kewenangan di sektor pendidikan yang lebih besar kepada pemerintah daerah, maka fokus desentralisasi pendidikan yang dilakukan adalah pelimpahan kewenangan yang kebih besar kepada pemerintah lokal atau kepada dewan sekolah. Implisit ke dalam strategi desentralisasi pendidikan yang seperti ini adalah target untuk mencapai efesiensi dalam penggunaan sumber daya (school resources; dana pendidikan yang berasal dari pemerintah dan masyarakat).[28]
Desentralisasi pendidikan berbeda dengan desentralisasi di bidang pemerintahan lainnya, di mana disentralisasi pada bidang pemerintahan berada pada tingkat kabupaten/kota. Sedangkan desentralisasi pendidikan tidak hanya berhenti pada tingkat kabupaten/kota saja, tatapi justru sampai pada lembaga pendidikan atau sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan. Sehubungan dengan itu, maka konsepsi desentralisasi pendidikan harus dikemas dalam program school based management (MBS), yakni suatu sistem manajemen yang bertumpu pada situasi dan kondisi serta kebutuhan sekoleh setempat. Sekolah diharapkan mengenali seluruh infrastruktur yang berada di sekolah, seperti guru, siswa, sarana prasarana, finansial, kurikulum, dan sistem informasi. Unsur-unsur manejemen tersebut harus difungsikan secara optimal dalam arti perlu direncanakan, diorganisasi, digerakkan, dekendalikan dan dikontrol. [29]
MBS harus didukung oleh partisipasi masyarakat yang diwadahi melalui komite sekolah/dewan sekolah yang memiliki peran sebagai berikut:
a)       Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan.
b)      Pendukun (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan.
c)       Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan.
d)      Mediator antara pemerintah (eksekutif)  dan  legislatif dengan masyarakat.























BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Dari uraian makalah di atas maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
-        Pendidikan berkualitas atau diistilahkan dengan pendidikan yang bermutu dapat dikatakan sebagai derajat kepuasan luar biasa yang diterima oleh kostumer sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya dalam memberikan kepuasan kepada kostumer dan dapat mewujudkan kemakmuran bangsa.
-       Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri sebagai warga Negara demokratis dan bertanggung jawab. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang RI.
-        Dalam rangka peningkatan sumber daya bangsa dengan pendidikan berkualitas adalah dengan memperhatikan pendidikan dari dua sektor (1) Mutu Pendikan yaitu berkualitas melalui perubahan Kurikulum, (2) Kesejahteraan pendidik, dan (2) Sarana Prasarana Pendidikan.
-          Mutu pendidikan merupakan salah satu tolok ukur yang menentukan martabat atau kemajuan suatu bangsa. Dengan mencermati mutu pendidikan suatu bangsa/negara, seseorang akan dapat memperkirakan peringkat negara tersebut di antara negaranegara di dunia. Guru adalah salah satu komponen pendidikan yang memegang peran penting dalam keberhasilan pendidikan, guru diharapkan mampu memainkan peran sebagai guru yang ideal. Salah satu cara meningkatkan mutu pendidikan adalah memperbaiki kinerja guru. Kinerja guru adalah persepsi guru terhadap prestasi kerja guru yang berkaitan dengan kualitas kerja, tanggung jawab, kejujuran, kerjasama dan prakarsa. Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja guru antara lain adalah peran kepemimpinan kepala sekolah, pemberian kompensasi, kedisiplinan guru, dan pengembangan Sumber Daya Guru (SDM).
-          Guru merupakan profesi profesional di mana ia dituntut untuk berupaya semaksimal mungkin menjalankan profesinya sebaik mungkin. Sebagai seorang profesional maka tugas guru sebagai pendidik, pengajar dan pelatih hendaknya dapat berimbas kepada siswanya. Dalam hal ini guru hendaknya dapat meningkatkan terus kinerjanya yang merupakan modal bagi keberhasilan pendidikan.
-          pembaharuan sekolah merupakan upaya yang dilakukan untuk memberikan berbagai pencerahan, dukungan, pengembangan, inovasi dan pemberdayaan, menuju pembaharuan sekolah, baik secara internal maupun secara eksternal.         Tuntutan pendidikan dewasa ini memperlihatkan adanya upaya untuk melakukan perubahan sekolah secara global dari berbagai aspeknya baik dalam kualitas, perencanaan, ataupun manajemennya. Pada aspek manajemen misalnya diupayakan adanya perubahan bagi guru yang mengarah pada profesionalitas. Perubahan ini jelas tidak akan tercapai jika, tidak diiringi dengan perubahan iklim dan budaya sekolah.










DAFTAR PUSTAKA

Arcaro, Jerome S. Pendidikan Berbasis Mutu, (Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005).
Armida S. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan, (Bandung, Universitas Padjajaran, 2000)
Dale, Roger. The State and Education Policy, (Penerbit : Open University Press, Milton Keynes, 1989).
Danim,  Sudarwan. Agenda Pembaharuan Sistem Pendidikan, (Penerbit : Pustaka Belajar,  Cet ke-I, Yogyakarta, 2003).
------------------------------, Visi Baru Manajemen Sekolah, (Penerbit : PT Bumi Aksara, Jakarta, 2006)
Eugénie A. Samier with Adam G. Stanley , Political Approaches to Educational Administration and Leadership, (London: Routledge, 2008)
Hasbullah, Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, ( Jakarta, Rajawali Pers, 2010)
http://www.masbied.com/2013/11/15/pengertian-mutu-pendidikan/#more-10844
Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Martinis dan Maisah. Orientasi Baru Ilmu Pendidikan.( Jakarta : Referensi, 2012)
Maisah, Manajemen Pendidika,(Penerbit : Referensi, Jakarta, 2013)
Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis Menelanjangi Problematika Meretas Masa Depan Pendidikan Kita (Penerbit : IRCiSoD,  Yogyakarta: 2005).
Mulyasa, E. Manajemen Pendidikan Karakter, (Penerbit : Bumi Aksara, Jakarta, 2013)
Machali,Imam.  Pendidikan Islam & Tantangan Globalisasi, Buah Pikiran Seputar, Filsafat, Politik, Ekonommi, Sosial dan Budaya (Penerbit : Yogyakarta: PRESMA Fak. Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga dan Ar-Ruzz, 2004).
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, (Penerbit : Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 2011).
Syafaruddin, Efektivitas Kebijakan Pendidikan ; Konsep, Strategi, dan Aplikasi Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif, (Penerbit : Rieneka Cipta, Jakarta, 2008).
Sirozi, Politik Pendidikan ; Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, (Penerbit : Rajawali Pers, Jakarta, 2010).
Tilaar, H.A.R. Membenahi Pendidikan Nasional, (Penerbit : Rieneka Cipta, Jakarta, 2009).

Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 45 ayat 1
Wiyono, Teguh. Rekontruksi Pendidikan Indonesia, (Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010).
Yaqin, Ainul. Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan (Penerbit: Yogyakarta, Nuansa Aksara, 2005),





[1] Martinis Yamin dan Maisah, Orientasi Baru Ilmu Pendidikan, ( Penerbit :  Referensi,  Jakarta, 2012), hal. 113
[2] E.Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Penerbit : Bumi Aksara, Jakarta, 2013), hal. 161
[3] Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah, (Penerbit : PT Bumi Aksara, Jakarta, 2006), hal 53
[4] http://www.masbied.com/2013/11/15/pengertian-mutu-pendidikan/#more-10844
[5] Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasiona. Hal. 5
[6] E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, (Penerbit : PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 2013), hal. 19
[7] Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, (Penerbit : Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 2011), hal. 202
[8] E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013,hal. 163-166
[9] Jerome S. Arcaro, Pendidikan Berbasis Mutu, (Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005), hal. 39
[10] Maisah, Manajemen Pendidikan,(Penerbit : Referensi, Jakarta, 2013), hal. 125-127
[11] Teguh Wiyono, Rekontruksi Pendidikan Indonesia, (Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010), ,hal. 176-177
[12] Martinis Yamin dan Maisa, Orientasi Baru Ilmu Pendidikan, hal. 58
[13] H.A.R Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, (Penerbit : Rieneka Cipta, Jakarta, 2009), hal. 62
[14]Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 45 ayat 1
[15] Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM).
[16] E.Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah,(Penerbit : PT Remaja Rosdakarya,2011),hal.49
[17] Baharudin dan Moh.Makin, Manajemen Pendidikan Islam, (Penerbit : UIN Maliki Press, Malang, 2010),`hal.83
[18] Ibid, hal. 85-86
[19] Ace, Suryadi.. Paradigma Pembangunan Pendidikan Nasional, Konsep, Teori, dan Aplikasi dalam analisis Kebijakan Publik. (Bandung : Widya Aksara Press, 2009), hal. 212-214.
[20] Mukhtar dan Iskandar, Orientasi Baru Supervisi Pendidikan, (Jakarta: Gaung Persada, 2009), hal. 3
[21] Eugénie A. Samier with Adam G. Stanley , Political Approaches to Educational Administration and Leadership, (London: Routledge, 2008) hal. 208
[22] Christopher R. Wagner, Leadership for an Improved School Culture: How to Assess and Improve The Culture of Your Culture, in Kentucky School Leader, Fall 2004/Winter 2005, hal. 12.
[23] Udin Saefuddin,  Inovasi Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2013), hal.74-76
[24] Martinis dan Maisah. Orientasi Baru Ilmu Pendidikan. hal.121-122
[25] M. Sirozi, Politik Pendidikan, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 83
[26] Abdul Halim, Bunga Rampai Manajemen Keungan Daerah, (Yogyakarta, UPP AMP YPKN, 2010), hal. 15
[27] M. Sufyarman, Kapita selekta Manajemen Pendidikan , (Bandung, Alfabeta, 2003), hal. 83
[28] Armida S. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan, (Bandung, Universitas Padjajaran, 2000) hal. 2
[29] Hasbullah, Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, ( Jakarta, Rajawali Pers, 2010), hal. 56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar